Kisah Wisata Budaya & Sejarah Sumatera Utara

1. Kisah Desa Wisata Huta Siallagan – Samosir

Tempat di mana hukum adat menjadi segalanya

Di Pulau Samosir, tepatnya di kawasan Ambarita, berdiri sebuah desa kecil yang menyimpan kisah besar: Huta Siallagan. Desa ini dulunya merupakan pusat pemerintahan Raja Siallagan, seorang pemimpin Batak Toba yang memerintah dengan hukum adat yang sangat tegas dan tak bisa ditawar.

Di tengah desa, masih berdiri barisan batu yang tersusun melingkar — bukan batu biasa, melainkan batu persidangan. Di sinilah dahulu para tetua adat berkumpul, mengadili mereka yang melanggar hukum: pencuri, pengkhianat, hingga musuh yang tertangkap saat perang antarsuku. Keputusan diambil melalui musyawarah, berdasarkan adat, bukan dendam.

Konon, pada masa itu, keadilan adat adalah segalanya. Hukuman bisa berupa pengasingan, hukuman fisik, bahkan eksekusi mati. Masyarakat percaya, keputusan yang diambil di atas batu itu bukan hanya disaksikan oleh manusia, tetapi juga oleh roh leluhur.

Di sekeliling batu persidangan berdiri Rumah Bolon, rumah adat Batak Toba milik raja dan keluarga besarnya. Atapnya tinggi menjulang, melengkung ke langit, seakan menjadi jembatan antara dunia manusia dan dunia roh. Dindingnya penuh ukiran (gorga) berwarna merah, hitam, dan putih yang melambangkan kekuatan, kesucian, dan perlindungan.

Hingga kini, Huta Siallagan bukanlah sekadar desa wisata. Ia adalah ruang waktu yang masih hidup, tempat adat Batak berdetak dalam denyut kehidupan modern.

Di sore hari, ketika gondang mulai ditabuh dan tarian tortor dipentaskan, seolah-olah roh Raja Siallagan masih hadir, menyaksikan anak cucunya menjaga warisan leluhur.

2. Kisah Desa Lingga – Tanah Leluhur Suku Karo

Rumah di mana delapan keluarga hidup dalam satu atap

Beranjak ke dataran tinggi Karo, di kaki Gunung Sinabung dan Sibayak, berdirilah sebuah kampung tua bernama Desa Lingga. Kampung ini ibarat museum hidup yang menjaga sisa-sisa kejayaan dan kearifan leluhur suku Karo.

Di desa ini berdiri bangunan besar dari kayu dan ijuk yang disebut Siwaluh Jabu, yang berarti rumah bagi delapan keluarga. Zaman dahulu, delapan keluarga hidup bersama di dalam satu bangunan tanpa sekat permanen. Mereka berbagi ruang, api tungku, cerita, dan doa.

Yang membuat rumah ini semakin istimewa adalah cara pembuatannya: tanpa paku. Seluruh sambungan disusun menggunakan teknik pasak kayu dan ikatan rotan. Ini bukan hanya bukti kecerdasan arsitektur nenek moyang, tetapi juga simbol bahwa kehidupan harus saling mengikat, saling menyangga.

Bagi orang Karo, rumah bukan sekadar tempat tinggal, tetapi pusat kehidupan spiritual dan sosial. Setiap posisi di dalam rumah memiliki makna adat. Siapa duduk di mana, siapa berbicara terlebih dahulu, siapa memimpin upacara — semuanya diatur oleh struktur kekerabatan yang sakral.

Di malam hari, ketika angin dingin pegunungan berembus dan kabut turun perlahan, rumah Siwaluh Jabu berdiri seperti penjaga masa lalu — menyimpan bisik-bisik leluhur yang tak pernah padam.

Era modern mungkin datang, tetapi di Desa Lingga, waktu seperti enggan berjalan terlalu cepat.

3. Kisah Istana Maimun – Simbol Kejayaan Kesultanan Deli

Di tengah hiruk-pikuk Kota Medan, berdiri megah bangunan berwarna kuning keemasan: Istana Maimun. Istana ini dibangun pada tahun 1888 oleh Sultan Ma’mun Al Rasyid Perkasa Alamsyah, penguasa Kesultanan Deli yang kala itu mencapai puncak kejayaan.

Istana ini bukan hanya tempat tinggal sultan. Ia adalah simbol kekuasaan, kebijaksanaan, dan hubungan dunia Timur dengan Barat. Arsitekturnya unik—perpaduan Melayu, Islam, dan Eropa. Pilar-pilar besar berdiri kokoh, jendela-jendela tinggi memandang keluar ke dunia modern yang mulai tumbuh.

Di bagian dalam, terdapat singgasana kesultanan yang masih terjaga hingga kini. Di sinilah sultan menerima tamu dari berbagai penjuru: pedagang asing, pejabat kolonial, dan rakyat yang datang meminta keadilan.

Namun di balik kemegahannya, Istana Maimun juga menyimpan kisah getir kolonialisme, perjanjian-perjanjian rumit, dan perjuangan menjaga marwah tanah Melayu di tengah tekanan bangsa asing.

Kini, Istana Maimun berdiri sebagai penjaga memori. Setiap langkah kaki di lantainya, seolah mengulang gema suara para sultan yang pernah memimpin dengan kehormatan.

4. Kisah Masjid Raya Al Mashun – Doa yang Menggema dari 1906

Tak jauh dari Istana Maimun, berdiri sebuah mahakarya spiritual: Masjid Raya Al Mashun. Masjid ini dibangun pada tahun 1906, juga oleh Sultan Ma’mun Al Rasyid, sebagai bentuk kecintaan terhadap Islam dan umatnya.

Masjid ini dirancang dengan gaya arsitektur Mughal, Moor dan sentuhan Eropa. Kubah hitamnya menjulang anggun, menjadi penunjuk arah bagi para musafir dan pelaut yang datang ke Medan.

Dari dulu hingga kini, masjid ini tak pernah sepi dari doa. Di dalamnya, ribuan hajat orang-orang pernah dilangitkan:
doa para pedagang, doa para ibu, doa pejuang kemerdekaan, dan kini doa para wisatawan yang datang mencari ketenangan.

Masjid Raya bukan hanya bangunan ibadah, ia adalah penjaga spiritual kota Medan. Ia menjadi saksi zaman: penjajahan, kemerdekaan, hingga modernisasi.

Jika kamu datang saat azan berkumandang, dengarlah…
Suara itu bukan hanya panggilan salat, tapi juga panggilan sejarah yang masih bernapas.

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Scroll to Top